“Kenapa harus di MRT? Kenapa gak di istana atau di Hambalang aja?” tanya seorang temen bernama Gatot.
Saya dan Gatot sedang ngopi di rumah. Kami baru selesai lari pagi dan sedang nonton TV yang sedang memberitakan pertemuan Prabowo dan Jokowi.
Kita semua udah ngeliat pertemuan rekonsiliasi antara Prabowo dan Jokowi. Pertemuan tersebut dilangsungkan di dalam MRT. Aneh, kan? Itu sebabnya Gatot bertanya seperti di atas pada saya,
Pilihan MRT sebagai meeting point, saya yakin ini adalah ide Jokowi. Mantan tukang mebel dari Solo ini sejak dulu demen banget menggunakan simbol-simbol. Setelah berpikir beberapa jenak, saya coba menjelaskan analisa saya pada Gatot.
Pertemuan tidak dilakukan di Istana atau di Hambalang karena untuk menghindari kesan kalah menang antara keduanya. Itu sebabnya dipilih tempat yang netral. Tempat keduanya merasa sejajar. Merasa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Pemikiran Jokowi ini berdasarkan falsafah luhur orang Jawa yang mengatakan; menang tanpo ngasorake. Artinya, menang tanpa mengalahkan.
Lalu kenapa harus MRT? Kan bisa di tempat yang lain? Begini: MRT adalah kendaraan baru. Gerbongnya bisa diibaratkan sebagai negara Indonesia. Isinya adalah rakyat Indonesia. Jadi Jokowi mengajak Prabowo untuk bersama-sama memimpin negara ini menuju Indonesia baru. Bersama-sama membuat rakyatnya maju. Itu sebabnya MRT-nya harus bergerak maju sebagai simbol sebuah perjalanan menuju Indonesia yang lebih baik.
Mendengar penjelasan saya, Gatot mengangguk-angguk. Selesai menghirup kopinya, dia ngomong, “Pinter lo, Bud. Gue gak kepikiran sampe ke sana, loh.”
Saya juga menghirup kopi saya lalu menepuk-nepuk pundak Gatot sambil tersenyum. Dalam hati saya membatin, ‘Bukan guenya yang pinter. Tapi elo yang blo’on. Mau aja gue kibulin.’
Hehehehe….
Oleh : Budiman Hakim