Remaja : Antara Jati Diri dan Arus Liberalisasi

Oleh : Dian Eliasari, S.KM.
(Pendidik dan Member Akademi Menulis Kreatif)

DUNIA perfilman tanah air saat ini semakin banyak menyuguhkan film-film kontroversial. Mulai film fenomenal ‘Dilan ’90’ yang sempat booming. Kemudian disusul oleh film ‘Kucumbu Tubuh Indahmu’ yang sempat menuai protes karena menampilkan hubungan sesama jenis. Kini muncul lagi film ‘Dua Garis Biru’. Seperti halnya ‘Dilan’, film ‘Dua Garis Biru’ juga bergenre remaja. Film yang merupakan karya dari sutradara Ginatri S Noer ini, mengisahkan sepasang remaja yang melampaui batas dalam berpacaran, sehingga berujung pada pernikahan usia dini.

Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, Dwi Listyawardani mengatakan bahwa film Dua Garis Biru bisa menjadi edukasi kesehatan reproduksi kepada remaja yang menontonnya. Juga dapat menggambarkan realita bahwa anak remaja sedikit mengetahui dan belajar tentang kesehatan reproduksi, namun tidak mengetahui risiko-risiko yang bisa terjadi akibat perkawinan usia muda.

Film tersebut juga memberi pesan bahwa remaja harus memiliki rencana kehidupannya sejak awal hingga membangun rumah tangganya kelak. Selain itu, film ini menggambarkan bahwa pernikahan di usia muda bisa merusak masa depan dan memupuskan berbagai cita-cita.

Meskipun belum ditayangkan, film ‘Dua Garis Biru’ memunculkan protes dari Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (Garagaraguru). Melalui sebuah petisi yang ditandatangani oleh 158 orang. Mereka menilai ada beberapa scene di trailer yang menunjukkan situasi pacaran remaja yang melampaui batas dan dianggap tidak layak dipertontonkan pada generasi muda. Penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa tontonan dapat mempengaruhi manusia untuk meniru dari apa yang telah ditonton.

Menurut mereka, segala tontonan yang menjerumuskan generasi kepada perilaku amoral sudah sepatutnya dilawan karena kunci pembangunan negara ada pada manusianya. Karena mustahil untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 apabila generasi muda masih sering disuguhkan tontonan yang mengarah kepada perilaku amoral.

Baca Juga  KO.SA.K.TA

Liberalisasi Mewarnai Pencarian Jati Diri Remaja

Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini mereka mulai mengindera peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Selain itu, kondisi lingkungan juga sangat besar pengaruhnya dalam menentukan jati diri dan kepribadian mereka. Peran keluarga sangatlah dominan dalam masa ini.

Tidak jarang anak tumbuh menjadi individu yang baik, santun, dan berkepribadian baik karena tumbuh di tengah keluarga yang baik dan menanamkan nilai-nilai agama serta nilai moral yang baik. Namun banyak juga anak-anak yang justru mencari jati diri di luar rumah mereka, karena keluarga yang abai dan tidak memiliki pengetahuan untuk membentuk kepribadian remaja.

Tidak jarang orang tua terlalu sibuk bekerja, sedangkan tv, gadget, serta teman-teman di luar rumah menjadi sarana bagi anak-anak dalam mencari jati diri. Akhirnya jati diri mereka terbentuk oleh lingkungan yang mempengaruhi mereka.

Derasnya arus liberalisasi (kebebasan) dan hedonisme (mencari kesenangan) mewarnai industri penyiaran tanah air, baik berupa film ataupun sinetron striping. Lihatlah bagaimana remaja disuguhi oleh tayangan yang menceritakan anak sekolah tapi justru yang ditampilkan bukan kegiatan belajar, namun lebih kepada aktivitas pacaran, tawuran, balap motor, serta busana yang memperlihatkan aurat mereka.

Dalam sistem liberal yang mengagungkan kebebasan, pembuatan film lebih mengutamakan aspek bisnis yang menguntungkan. Selama ada yang berminat dan menjanjikan keuntungan, film akan dibuat dengan judul dan trailer yang “menjual”.

Kurangnya pemahaman Islam dan lingkungan yang individualistik seolah menjadi angin segar bagi industri penyiaran berbasis liberalistik (kebebasan). Pada akhirnya akan menjadikan remaja menyukai kebebasan dan bersikap suka-suka mereka.

Ditambah lagi dengan pemerintah yang menerapkan sistem kapitalisme yang bertumpu pada materi serta mengutamakan pengusaha. Maka industri penyiaran dijadikan sebagai salah satu sumber pemasukan negara, tanpa melihat  kerusakan moral yang akan menimpa remaja akibat siaran tersebut. Tidak sedikit kita temui anak-anak dan remaja Islam yang saat ini lebih hafal nama artis daripada nama sahabat atau sahabiyah Nabi Saw yang dijamin masuk surga.

Baca Juga  Pemberdayaan Masyarakat di Tengah Pandemi Covid-19 Berbasis Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

Islam Mengatur Penyiaran

Dalam sistem Islam, film merupakan sarana dakwah dan edukasi bagi rakyat. Negara punya peran utama dalam mengendalikan produksi film yang beredar di masyarakat agar sesuai dengan tujuan film itu sendiri. Tidak hanya film, tapi alat-alat penyiaran dan teknologi seperti tv, radio, koran, majalah, internet, dan lainnya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dan tidak boleh menyimpang dari ajaran Islam. Kalaupun ada tayangan hiburan juga tetap sesuai dengan koridor Islam. Negara juga punya wewenang penuh untuk melakukan filter terhadap tayangan-tayangan yang beredar di masyarakat terutama yang berasal dari luar negeri.

Dengan demikian, lingkungan masyarakat dan juga keluarga sudah terkondisikan dan terbiasa dengan suasana keimanan dan nilai-nilai Islam sejak kecil, di sinilah peran orang tua, sekolah, masyarakat dan negara sangat penting untuk mendampingi anak agar terbentuk pola pikir dan pola sikap pada anak, sehingga saat beranjak remaja, mereka sudah mempunyai kepribadian Islam, serta tujuan dan jalan hidup yang jelas.

Mereka juga memahami batasan-batasan hukum dalam Islam sehingga mampu membentengi diri apabila menemukan kondisi yang bertentangan dengan Islam. Kondisi ini tentunya hanya dapat terwujud apabila negara menjadikan aturan Islam sebagai sumber rujukan hukum untuk mengatur seluruh kehidupan masyarakat.

Wallaahu a’lam.

Ikuti Fans Page Kami

Leave a Reply