KITAMUDAMEDIA – Pandemi flu sudah terjadi sejak 100 tahun lalu, salah satunya yang paling parah adalah flu Spanyol yang terjadi pada 1918.
Sepanjang pandemi tersebut pernah terjadi, tak pernah ada bukti bahwa wabah ada karena konspirasi. Sejarah juga menunjukkan bahwa pandemi justru memiliki rentang waktu tertentu saat terjadi.
Khusus pandemi Covid-19, ini rentang waktunya adalah 20 tahun sejak terakhir pandemi flu terjadi pada 2009, yakni flu babi yang disebabkan virus influenza A subtipe H1N1. Tak ada konspirasi, Tim Komunikasi Publik Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Arie Rukmantara menyatakan, sepanjang sejarah pandemi yang pernah ada di dunia, tidak ada satu pun organisasi atau individu yang sengaja menyebarkan pandemi.
Catatan sejarah tersebut juga sekaligus menampik tudingan sebagian orang tentang pandemi Covid-19 yang merupakan konspirasi atau propaganda pihak-pihak tertentu. “Sepanjang sejarah, dari mulai pandemi ditemukan tahun 1500-an sampai sekarang, belum ada satu organisasi atau satu orang yang konsisten secara terus-menerus (dalam) 100 tahun kerjaannya ingin menyebarkan pandemi,” ujar Arie yang juga penulis buku sejarah pandemi berjudul Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda dalam konferensi pers di BNPB, Senin (3/8/2020).
Ia mengatakan, fakta tersebut juga terekam dalam buku-buku sejarah lainnya yang tidak berkaitan dengan adanya wabah atau pandemi. Salah satunya adalah buku biografi Slamet Iman Santoso berjudul Warna Warni Pengalaman Hidup Slamet Iman Santoso yang memuat cerita tentang tukang kain kafan yang ramai, tetapi harus menutup tokonya sehingga dibuka dengan paksaan polisi.
Bukti lainnya adalah wawancaranya langsung ke ketua adat di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, saat menulis buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda. Ketua adat di Tana Toraja bisa menggambarkan pernah ada pandemi, dengan bukti adanya jenazah korban wabah atau pandemi yang dibiarkan berserakan. Jasad-jasad tersebut tidak disimpan di lubang-lubang goa sebagaimana tradisi daerah tersebut.
Sejarah juga mencatat adanya rentang waktu terjadinya pandemi flu selama 11 hingga 50 tahun sekali. Dalam teori di kesehatan hewan, kata dia, setiap 18 bulan bisa ditemukan penyakit-penyakit baru. Selama pandemi Covid-19 ini pun, sudah banyak ditemukan penyakit baru. “Dari tahun 1700 ada interval kelihatan paling tidak 50 tahun sekali atau 11 tahun sekali, kita ketemu pandemi flu,” kata Arie.
Ia mencontohkan, pandemi flu yang terjadi pada tahun 1957-1968, termasuk pada tahun 1918 yang paling luar biasa karena menewaskan puluhan juta orang. Kemudian, kata dia, terjadi lagi dalam 41 tahun di interval waktu tersebut, yakni antara 1968-2009 hingga 11 tahun kemudian, yakni tahun 2020 terjadi lagi pandemi Covid-19 yang saat ini berlangsung. Namun, dalam rentang waktu 11 tahun tersebut, sebenarnya juga terjadi pandemi-pandemi lain, seperti Ebola di Afrika pada tahun 2014 dan MERS-CoV di Arab Saudi pada 2012.
Pengulangan pandemi ini pula, kata Arie, yang menyebabkan sulit untuk menemukan kelompok orang yang berkonspirasi menyebarkan virus-virus penyebab pandemi. “Jadi sebenarnya pandemi itu berulang. Ini yang agak sulit mencari atau menemukan orang yang konsisten dari tahun 1700 sampai 2020 melakukan konspirasi, menaruh virus di mana-mana di seluruh dunia. Arsip kita tidak menangkap ada satu aktor atau satu kelompok, semuanya sporadis,” ujar Arie. Kemunculannya pun bisa terjadi di mana saja, seperti di Mesir, Yunani, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan di bagian dunia lainnya.
Kebijakan tegas Covid-19 Arie mengatakan, harus ada sanksi tegas kepada masyarakat yang melanggar peraturan pencegahan penyakit saat pandemi terjadi. Menurut Arie, pernyataan ini juga berkaca dari sejarah, yaitu pandemi flu yang terjadi pada 1918. Wabah flu tersebut juga menyebar di Indonesia yang kala itu bernama Hindia Belanda.
Adanya sanksi, kata dia, sebagai salah satu cara agar korban pandemi tidak berjatuhan semakin banyak. Saat itu, Arie mengatakan, Komisi Antiflu di Hindia-Belanda dibentuk untuk menangani pandemi flu. Setidaknya ada sejumlah kebijakan tegas yang dikeluarkan. “Pertama mengatur karantina, sosialisasi dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat (tentang pandemi), peraturan, dan sanksi,” kata Arie. Dia melanjutkan, pemerintah saat itu setelah melakukan rekayasa keluar masuk orang, kemudian melakukan edukasi. “Masyarakat diedukasi, perlu ada sanksi baik kepada petugas ataupun masyarakat yang melanggar. Kan sudah dikasih tahu jaga jarak, stay home, pakai masker, dan kalau sakit harus berobat,” ucap Arie. Ia mengatakan, badan yang mengatur koordinasi antar-lembaga selama pandemi sangat dibutuhkan. Sebab, pandemi tidak hanya urusan kesehatan.
Beberapa hal lainnya adalah urusan pelabuhan yang terkait dengan keluar masuk orang, urusan masyarakat yang menerangkan kepada masyarakat tentang apa yang harus dilakukan, termasuk urusan peraturan. Hal itulah yang dilakukan Komisi Antiflu saat pandemi tersebut terjadi tahun 1918. “Perlunya badan yang mengatur koordinasi ini karena tidak boleh (pandemi) jadi tanggung jawab satu orang atau lembaga, karena yang paling pertama muncul adalah kepanikan masyarakat,” kata dia. “Terus nanti (masyarakat) cari informasi, kalau informasinya salah jadi ketidakpatuhan, pengabaian. Diulang-ulang oleh sejarawan pandemi, pesan-pesan pencegahan sering dilupakan dari mereka yang panik ke mengacuhkan,” ucap dia. (Deti Mega Purnamasari/Kompas)
Editor : Redaksi KMM