Awesome Logo
Tersedia ruang iklan, informasi hubungi 08125593271                    Segenap Pimpinan dan Redaksi Kita Muda Media Mengucapkan Marhaban ya... Ramadhan 1442 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin                    Patuhi Protokol Kesehatan dan Jaga Imunitas                    Follow Medsos KITAMUDAMEDIA FB : kitamudamedia, Fan Page FB : kitamudamedia.redaksi, IG : kitamudamedia.redaksi, Youtube : kitamudamedia official                                   Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 1442 H                         

Sama-sama Sedang Naik Daun, Varian Mu dan Varian C.1.2 Mana Lebih Bahaya?

KITAMUDAMEDIA – Belum lama ini dua varian baru COVID-19 jadi perbincangan hangat. Dua varian tersebut adalah varian C.1.2 yang ditemukan di Afrika Selatan, Mei 2021, dan varian B1621 atau varian Mu yang ditemukan Januari 2021 di Kolombia.

Varian Mu menjadi perbincangan karena pada 31 Agustus 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkannya ke dalam kelompok variant of interest (VoI), selevel dengan varian Lambda. Ini karena varian tersebut memiliki mutasi risiko resistensi terhadap vaksin.

Sementara untuk varian C.1.2, WHO memasukkannya ke dalam kategori Alerts for Further Monitoring sejak 1 September 2021. WHO mengatakan varian ini belum memenuhi kriteria sebagai VoI maupun VoC.

Fakta-fakta tentang kedua varian ini terangkum sebagai berikut.

Varian C.1.2

Varian C.1.2 ini pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan pada bulan Mei 2021. Diketahui, varian ini memiliki banyak mutasi dari varian Corona lain dan telah menyebar ke banyak negara.

Para ilmuwan menduga varian ini mudah menular dan membuat sensitivitas pada antibodi penetralisir menurun karena berbagai mutasi yang ada di dalamnya. Selain itu, ahli virus sekaligus dosen imunologi dan penyakit menular di Central Clinical School University of Sydney, Dr Megan Steain menyebut varian ini bisa lebih berbahaya dari varian lain.

“Varian ini memiliki beberapa mutasi kunci yang kita lihat di varian lain yang telah menjadi variant of concern atau varian of interest,” jelas Dr Steain dikutip dari The Guardian.

“Setiap kali kami melihat mutasi tertentu itu muncul, kami mengawasinya untuk melihat apa yang akan dilakukannya. Mutasi ini bisa mempengaruhi berbagai hal, seperti apakah ia (varian) menghindari respon imun atau menular lebih cepat,” lanjutnya.

Baca Juga  Loktunggul Hilang dari Andal PLTU, Amir Tosina Desak Pemkot Bontang Usut Tuntas

Dr Steain juga menduga vaksin Corona tidak mampu menetralisir dengan baik varian C.1.2. Dugaan ini muncul usai melihat adanya beberapa mutasi yang mirip dengan varian Delta dan Beta.

“Jadi, kami pikir mungkin vaksin tidak akan menetralisir sebaik melawan strain leluhur. Tetapi, sampai kami benar-benar melakukan eksperimen, itu masih spekulatif,” ujar Dr Steain.

“Kita harus ingat bahwa sejauh ini vaksin mampu bertahan dengan sangat baik dalam hal mencegah infeksi parah, rawat inap, serta kematian akibat varian. Mereka (vaksin) sangat pandai mencegahnya,” lanjutnya.

Varian Mu

Varian Mu yang merupakan sebutan untuk varian B1621 pertama kali diidentifikasi di Kolombia pada Januari 2021 lalu. WHO mengklasifikasikan varian Mu ini ke dalam kategori VoI karena memiliki ‘konstelasi’ atau kumpulan mutasi yang menunjukkan sifat potensial untuk lolos dari kekebalan.

“Varian Mu memiliki konstelasi mutasi yang menunjukkan sifat potensial untuk lolos dari kekebalan,” tertulis dalam buletin pandemi mingguan WHO, dikutip dari The Straits Times, Rabu (1/9/2021).

Selain di Kolombia, diketahui varian Mu ini sudah menyebar ke 40 negara di dunia. Dan baru-baru ini, Jepang juga telah melaporkan kasus pertama dari varian Mu ini.

Seperti varian C.1.2, varian Mu ini juga disebut-sebut kebal terhadap vaksin Corona. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai mutasi yang ada di dalam varian ini.

Beberapa mutasi yang ada di dalam varian Mu antara lain:

  • R346K
  • E484K
  • N501Y
  • D614G
  • P681H

Menanggapi ini, dr Paul Griffin, seorang ahli penyakit menular dari Mater Health Services dan University of Queensland, mengatakan hal ini perlu diteliti lagi. Menurutnya, tes laboratorium tidak memberikan gambaran lengkap cara kerja sistem kekebalan manusia di dunia nyata.

Baca Juga  Aksi Cleaning Up Libatkan Pelajar, Pungut Sampah di Kampung Minim Sampah dan Pantai Galau TLI

“Studi penetralisir itu sangat berguna karena cukup mudah dilakukan dan cukup cepat, tetapi itu adalah bagian dari cerita, bukan keseluruhan cerita,” kata dr Griffin yang dikutip dari ABC.

“Kita perlu melihatnya secara klinis dan juga di dunia nyata, kita melihat perubahan sifat yang berarti vaksin benar-benar kehilangan kemanjurannya,” ujar dr Griffin. (Detik)

Editor : Redaksi KMM

Ikuti Fans Page Kami

Leave a Reply