KITAMUDAMEDIA, Bontang- Suara petikan ukulele dan sahutan para pedagang menggema di Pasar Taman Rawa Indah. Hingar bingar pasar tradisional semi modern yang terletak di kawasan Tanjung Laut Indah, Kota Bontang itu sudah menjadi melodi kehidupan bagi Ruwaidah (63), salah satu pedagang yang menjajakan cenil, getuk dan lupis di selasar lantai 1.
Wanita paruh baya itu tengah sibuk menyusun cenil, getuk dan lupis di atas daun pisang yang telah dipotong rapi. Samar-samar, aroma taburan kelapa parut ditambah gula merah cair tercium dari lapaknya.
“Dari tahun 1992 sudah jualan di sini (Pasar Taman Rawa Indah). Mulai masih muda cantik sampai sekarang sudah jadi nenek-nenek peot,” gelak tawanya terdengar hingga mengundang tawa pedagang lainnya.
*Melawan Zaman*
Masih lekat dalam kenangan Ruwaidah, bagaimana dirinya berjuang mempertahankan jajanan tradisional yang sudah dijajakkannya selama 32 tahun. Wanita berdarah Madura ini menghabiskan waktu selama 5 tahun untuk mempelajari cara menghasilkan cenil, getuk dan lupis. Tak patah arang, ia hanya ingin membuat masakan yang mampu memanjakan lidah. Karena bagi ibu dari tiga orang anak ini, getuk, cenil dan lupis bukan sekedar makanan, tapi cerita yang mengaitkan tradisi dengan kehidupan modern. Pun satu-satunya harapan yang ia miliki untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Namun, perubahan zaman kini membuat makanan tradisional itu semakin tergeser, semakin menepi. Masalahnya sederhana tapi kompleks. Perubahan selera. Anak muda lebih memilih jajanan modern. Seblak, dimsum, dan risol mayo.
“Jarang. Apalagi saya ini jualannya di pasar. Paling yang banyak antri itu ibu-ibu. Kalau yang masih muda jarang sekali,” ucap Ruwaidah.
Meski dihadapkan pada situasi sulit, ia tetap menjaga kualitas dagangannya. Walaupun keuntungannya tipis, Ruwaidah tak ingin ambil pusing. Bersyukur, satu-satunya kata yang ia sematkan dalam dirinya agar bisa mempertahankan usaha yang sudah ia bangun.
“Sekarang saya nggak pernah hitung untungnya berapa. Kalo dihitung tipis sekali. Bersyukur aja. Yang penting untuk makan ada,” ujarnya sembari tersenyum.
Saban hari, Ruwaidah menghabiskan waktu selama 8 jam untuk mengukus 12 kilo ketan agar menghasilkan lupis kenyal. Ditambah 10 singkong yang disulap menjadi getuk. Ia menjual dengan harga Rp 10 ribu per bungkus. Semangatnya semakin terpacu, dikala Ruwaidah menerima orderan dalam jumlah besar. Setidaknya masih ada harapan.
“Mulai masak itu jam 4 sore sampai jam 12 malam. Hari-hari ya begitu. Ke pasar jam 6 pagi, pulang sekitar jam 12. Sore masak lagi,” terangnya.
*Harapan di Tengah Keterbatasan*
Di balik tekstur kenyal dan manisnya cenil, getuk, serta lupis, ada cerita tentang ketekunan, cinta dan perjuangan Ruwaidah untuk mempertahankan warisan budaya di tengah gempuran zaman modern. Meski usahanya tak semanis dulu, Ruwaidah tetap menaruh harapan dan keyakinannya untuk tetap bertahan.
“Selama masih kuat, saya tetap mau buat cenil, buat getuk, buat lupis. Walaupun susah buatnya, tapi saya senang. Ini juga jadi sumber penghasilan saya,” kata Ruwaidah.
Ruwaidah, wanita paruh baya berusia 63 tahun, tidak hanya berjualan makanan. Ruwaidah, wanita paruh baya berusia 63 tahun, ia merupakan salah satu sosok yang merawat identitas budaya dan kenangan manis, layaknya lupis yang disiram gula merah. Serta keceriaan masa kecil di balik cerahnya warna-warni cenil.(*)