KITAMUDAMEDIA, Semarang – Pasar Dugder, sebuah acara keramaian pasar malam yang rutin digelar dua pekan menjelang bulan Ramadan, kembali berlangsung sejak 17–26 Februari 2025.
Acara pasar malam ini telah ada lebih dari satu abad lalu di tempat yang sama, yaitu di kompleks Masjid Agung Semarang (MAS), yang berdekatan dengan pasar legendaris, Pasar Johar.
Namun, seperti dirasakan masyarakat, Pasar Dugderan tidak lagi sehidup dulu. “Lihat saja mainan anak-anak seperti warak ngendok yang jadi ikon Dugder tidak ada lagi,” kata Chandra, salah seorang pengunjung.
Warak adalah boneka kayu berlapis rumbai kertas warna-warni. Boneka ini berbentuk binatang berkepala naga.
Meski begitu, mainan yang menunjukkan tradisi Dugder masih ada, seperti replika kapal-kapalan yang dioperasikan di baskom berisi air atau mainan anak dari gerabah.
Selain mainan anak, yang juga hilang dari Dugder adalah makanan khas tempo dulu, seperti petis bumbon, pecel gendar, coro, ketan biru, roti ganjel rel, atau gudeg koyor, yang kini hanya dijual oleh satu pedagang saja.
Selebihnya, didominasi kuliner kekinian, seperti aneka gorengan crispy, bahkan makanan impor dari Jepang dan Korea.
Deni (42), satu-satunya penjual makanan khas tempo dulu, mengatakan, “Hampir tiap tahun saya jual masakan khas Dugder. Karena ini usaha dari keluarga leluhur,” kata dia.
Menurut Chandra, kondisi Pasar Dugderan saat ini sangat bergantung pada pemerintah. “Kalau melihat Dugder sekarang ini, jelas pemkot tidak serius memikirkan acara tradisi,” ujar Chandra, yang juga seorang fotografer.
Ditemui di arena Dugder, Hari Bustaman, seorang tokoh budaya Semarang, memandang Dugder dengan skeptis. “Lihat saja, dari tahun ke tahun arena pasar ini semakin sempit dan tidak ada lagi tontonan khas Semarang seperti Gambang Semarang,” ujar Hari Bustaman dengan nada menyesal.
Apakah ini semua imbas dari efisiensi anggaran yang mengharuskan pemerintah memangkas dana di semua sektor? Sehingga Pasar Dugder hanya berlangsung sekadarnya?
Sampai berita ini diturunkan, pihak pemkot, dalam hal ini pejabat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar), belum dapat dihubungi.(*)
Reporter: Bambang Is
Editor: Icha Nawir