Awesome Logo
Tersedia ruang iklan, informasi hubungi 08125593271                    Segenap Pimpinan dan Redaksi Kita Muda Media Mengucapkan Marhaban ya... Ramadhan 1442 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin                    Patuhi Protokol Kesehatan dan Jaga Imunitas                    Follow Medsos KITAMUDAMEDIA FB : kitamudamedia, Fan Page FB : kitamudamedia.redaksi, IG : kitamudamedia.redaksi, Youtube : kitamudamedia official                                   Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 1442 H                         

Heatwave, Cara Bumi Ingatkan Iklim Sedang Tak Baik-baik Saja

KITAMUDAMEDIA – Heatwave atau gelombang panas yang melanda beberapa negara dan memakan korban jiwa disebut cuma sebagian efek krisis iklim. Simak paparan ahli soal ngerinya dampak fenomena pemanasan global ini pada dunia.

Suhu di sejumlah negara, seperti India, Thailand, Myanmar, dan Kamboja, belakangan meningkat secara ekstrem hingga menembus 40º celsius.

Dikutip dari CNN, 13 orang bahkan meninggal dunia usai menghadiri upacara di Maharashtra, India. Di Navi Mubai, 50 hingga 60 orang harus dibawa ke rumah sakit akibat gelombang panas

Dilansir The Diplomat, Direktur Divisi Observasi Meteorologi Thailand Somkhwan Tanchan menyebut suhu maksimum rata-rata ini berlangsung sejak awal April.

Ia juga mengatakan tingkat keparahan “kekeringan yang akan datang” lebih memprihatinkan daripada kekeringan besar pada tahun 2019 dan 2020.

Apa itu heatwave?

Melansir situs Badan Meteorologi Inggris, heatwave merupakan periode cuaca panas yang berkepanjangan relatif terhadap kondisi yang diharapkan dari area tersebut pada waktu itu dalam setahun, yang dapat disertai dengan kelembapan yang tinggi.

Sementara, National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat mendefinisikan heatwave sebagai periode cuaca panas luar biasa yang biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih.

Untuk dianggap sebagai gelombang panas, suhu harus berada di luar rata-rata riwayat area tertentu.

Heatwave umumnya terbentuk dari udara yang terjebak. Pada heatwave 2012 di AS, misalnya, udara terjebak mayoritas di wilayah Amerika Utara untuk periode yang lama.

Alih-alih berputar ke seluruh penjuru dunia, udara saat fenomena ini terjadi justru terdiam dan menghangat seperti di dalam sebuah oven. Untuk kasus 2012 ini, hal itu terjadi akibat sistem tekanan tinggi dari Meksiko yang memaksa udara ke bawah.

Gaya ini mencegah udara di dekat tanah naik. Udara yang tenggelam pun bertindak bak topi; menjebak udara daratan yang hangat di tempatnya.

Tanpa udara naik, tidak ada hujan, dan tidak ada yang mencegah udara panas menjadi lebih panas.

Perubahan iklim picu heatwave?

Suhu Bumi sendiri terus meningkat rata-rata 0,08º celsius per satu dekade sejak 1880. Melansir Climate, laju pemanasan suhu sejak 1981 lebih dari dua kali lebih cepat yakni 0,18 derajat celsius per satu dekade.

Ekonom lingkungan Li Lan menyebut heatwave akan lebih sering terjadi lantaran perubahan iklim.

“Perubahan iklim merupakan penyebab utama munculnya heatwave yang lebih ekstrem dan berkala. Menurut Atribusi Cuaca Dunia, apa yang disebut heatwave ekstrem per 100 tahun akan 30 kali lebih mungkin terjadi hari ini dengan tingkat pemanasan global yang ada sekarang,” kata dia, dilansir situs Asian Development Bank (ADB).

“Selain itu, udara yang lebih hangat sering disertai kelembapan dengan menahan dan memindahkan air cair yang menguap dari tanah, tumbuhan, dan lautan ke atmosfer. Kombinasi panas dan kelembapan ekstrem, atau yang disebut suhu ‘bola basah’, membuat gelombang panas lebih berbahaya bagi kehidupan manusia,” ujar Li Lan menambahkan.

Pernyataan Li Lan dibenarkan Friederike Otto, ilmuwan iklim di Imperial College London. “Setiap heatwave yang kita alami sekarang menjadi lebih panas dan akan sering terjadi karena perubahan iklim,” katanya seperti dilansir Reuters.

Situs PBB menyebut paling tidak ada tujuh penyebab utama perubahan iklim:

1) Pembakaran Bahan Bakar Fosil untuk Energi.

2) Industri Manufaktur.

3) Pembabatan hutan.

4) Penggunaan alat transportasi.

5) Industri makanan.

6) Listrik untuk kantor dan rumah.

7) Konsumsi energi berlebihan.

Dampak perubahan Iklim buat manusia

Perubahan iklim tersebut jelas berdampak terhadap kehidupan di Bumi.

Selain gelombang panas atau heatwave, cuaca di Bumi juga lebih ekstrem seperti munculnya badai yang merusak, kekeringan yang meningkat, peningkatan permukaan air laut, punahnya beberapa spesies, kekurangan makanan, kesehatan yang semakin rentan, serta kemiskinan dan kehilangan tempat tinggal.

Baca Juga  Demo 21 April, Mahasiswa Tuntut Pemerintah Turunkan Harga Bahan Pokok

Mengutip dari situs Bank Dunia, pemanasan suhu di 2-3º celsius mungkin akan menambah lebih dari 150 juta kasus malaria. Itu sama dengan 5 persen peningkatan jumlah orang yang terkena penyakit tersebut.

Pada 2030, diprediksi pula akan ada 48 ribu lebih kematian yang terkait diare pada anak berusia di bawah 15 tahun.

Di sektor pangan, perubahan iklim meningkatkan kemungkinan gagal panen sebanyak 4,5 kali lebih tinggi pada 2030 dan meningkat 25 kali lebih tinggi pada 2050. Itu artinya, harga makanan akan 12 persen lebih tinggi di wilayah sub-sahara Afrika.

Kelangkaan air bersih juga menjadi masalah serius. Diprediksi pada 2025, akan ada 5 miliar orang di Bumi yang akan terdampak masalah tersebut, meningkat dari jumlah saat ini yakni 1,7 miliar.

Banyak orang juga akan menjadi pengungsi jika perubahan iklim tidak ditangani dengan baik.

Pada 2050, 216 juta pengungsi iklim akan mengungsi di enam wilayah dunia, dengan tiga teratas berada di sub-Sahara Afrika (86 juta), Asia Timur dan Pasifik (49 juta), Asia Selatan (40 juta).

Selain terhadap manusia, perubahan iklim, termasuk efeknya berupa heatwave, pun berdampak kepada aneka ragam binatang dan tanaman di Bumi.

LSM World Wife Forum (WWF) mencatat paling tidak ada 10 hewan yang paling terdampak dari perubahan iklim: 1) beruang kutub. 2) leopard salju. 3) panda. 4) harimau. 5) kupu-kupu raja. 6) gajah afrika. 7) gorila pegunungan. 8) gajah afrika. 9) cheetah. 10) penyu hijau.

Justin Eastwood dan Anne Peters dari Monash University dalam tulisannya di The Conversation mengungkap contoh dampak heatwave pada salah satu spesies, yakni burung peri bermahkota ungu, spesies burung kicau yang tergolong langka di utara Australia.

Menurut mereka, paparan terhadap panas dan kondisi kering bisa merusak DNA bayi burung dalam dalam beberapa hari pertama kehidupannya. Hal ini bisa berarti membuat mereka menua lebih awal, mati lebih muda, atau menghasilkan lebih sedikit keturunan.

Kecuali jika mereka dapat beradaptasi dengan cepat terhadap pemanasan iklim, populasinya akan kesulitan bertahan hidup karena peningkatan temperatur global,” kata keduanya.

Bayi burung di dalam sarang sangat sensitif terhadap suhu panas karena tak berpindah tempat, pertumbuhan yang cepat, dan fisiologi yang belum matang. Konsekuensi dari tekanan panas berpotensi meningkat pada burung muda karena kerusakan dapat bertahan hingga dewasa.

Efek pada tanaman

Mengutip CNN, ada beberapa tanaman dan lanskap yang terancam karena heatwave dan suhu panas. Beberapa di antaranya: pohon baobab di Madagaskar, terumbu karang, salju di Pegunungan Alpen, dan pulau-pulau kecil di Pasifik.

Banyak penduduk di pulau-pulau kecil Pasifik misalnya yang terpaksa mengungsi terpaksa meninggalkan rumah karena pulau yang berpotensi tenggelam.

“Kita sedang melihat kehidupan laut tidak lagi ada, pemutihan karang, peningkatan air laut yang mencapai permukaan, dan sungai yang kering,” kata Itinterunga Rae Bainenti dari Kiribati Climate Action Network.

Prediksi di Masa Depan

Dalam artikel di jurnal Nature Reviews, sejumlah pakar dari berbagai universitas dari Massachusetts Institute of Technology dan ETH Zurich membuat prediksi dan proyeksi heatwave di masa depan.

“Frekuensi hari heatwave -jumlah hari per tahun ketika temperatur maksimum harian melampaui persentil ke-90 periode sejarah – juga diperkirakan akan meningkat,” menurut para pakar.

“Perubahan terbesar tingkat regional terlihat jelas di region tropis global, dengan perubahan yang kecil terjadi di daerah dengan ketinggian menengah hingga tinggi.”

Baca Juga  Pilkada 2024: Winardi Ingatkan Warga Bontang Gunakan Hak Pilih dengan Bijak

Para pakar menyebut “peningkatan yang sangat kuat diperkirakan terjadi di kawasan padat penduduk di Asia Tenggara.” Dengan skenario emisi tinggi, tahun-tahun di akhir abad ini diperkirakan akan mencapai suhu yang dianggap sebagai gelombang panas.

Mereka juga menulis kemungkinan heatwave yang mampu memecahkan rekor juga meningkat dengan cepat. Contohnya sudah terlihat di kasus 2021 di Pasifik Barat Laut di Amerika Utara dan heatwave 2022 di Inggris.

Beberapa wilayah yang mengalami heatwave ekstrem antara lain India dan Pakistan, wilayah di Teluk Persia, Teluk Arab, Laut Merah dan di timur China. “Region ini menunjukkan temperatur hingga 32 derajat celsius, yang sudah termasuk berbahaya bagi kesehatan manusia,”

“Area yang paling berisiko dari gelombang panas yang sangat lembab ini adalah yang padat lembah pertanian berpenduduk di lembah sungai Gangga dan Indus, atau bagian selatan Asia secara lebih luas, karena kerentanan akut dan meningkatnya kejadian kondisi tersebut,” tulis mereka.

Indonesia memang mengalami peningkatan suhu rata-rata meski belum mencapai kategori heatwave seperti yang terjadi di beberapa negara Asia lainnya.

“Suhu panas di Indonesia bukan Gelombang Panas, dan suhu maksimum harian sudah mulai turun,” kata Kepala Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/4).

BMKG juga menggarisbawahi gelombang panas di negara-negara Asia Selatan, Tenggara, dan China itu turut dipengaruhi tren pemanasan global.

Alasan Panas Terik Indonesia Bukan Dikategorikan Heat Wave

“Para pakar iklim menyimpulkan bahwa tren pemanasan global dan perubahan iklim yang terus terjadi hingga saat ini berkontribusi menjadikan gelombang panas semakin berpeluang terjadi lebih sering,” imbuhnya.

Menurut Dwikorita, heatwave biasa terjadi di wilayah bukan khatulistiwa. Sementara, Indonesia berada di wilayah tersebut denga kondisi geografis kepulauan yang dikelilingi perairan. luas.

“Secara karakteristik fenomena, Gelombang Panas umumnya terjadi pada wilayah yang terletak pada lintang menengah hingga lintang tinggi, di belahan Bumi Bagian Utara maupun di belahan Bumi Bagian Selatan,” tuturnya.

“Pada wilayah geografis yang memiliki atau berdekatan dengan massa daratan dengan luasan yang besar, atau wilayah kontinental atau sub-kontinental,” lanjut dia.

Apa Hubungannya Antara Heatwave dan Indeks Sinar Ultraviolet Jakarta?

Peneliti Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menyebut Indonesia mengalami hot spells. Yakni, kondisi suhu rata-rata berada di atas 28 derajat Celcius selama beberapa hari berturut-turut.

“Ada kecenderungan selama tujuh hari berturut-turut ini temperatur rata-rata itu di atas 28,8 derajat Celcius, di atas itu. Ini sebenarnya sudah dikategorikan hot spells,” ujar Erma dalam potongan video wawancara yang diunggahnya di Twitter.

Melansir situs resmi Badan Federal Meteorologi dan Klimatologi Swiss, hot spells adalah saat ketika temperatur tinggi bertahan selama beberapa hari dan frekuensinya akan meningkat di masa depan.

Kendati tak mengalami heatwave, bukan berarti Indonesia luput dari dampak perubahan iklim. Melansir situs Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, perubahan pola persipasi membuat iklim yang lebih basah di Sumatra dan Kalimantan, namun musim yang lebih kering di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Curah hujan yang menurun selama masa-masa kritis dalam setahun dapat meningkatkan risiko kekeringan yang tinggi, sementara curah hujan yang meningkat selama masa-masa basah dalam setahun dapat menyebabkan risiko banjir yang tinggi.

Perubahan iklim di Indonesia juga akan menghasilkan peristiwa El Niño/La Nina yang lebih kuat dan lebih sering dan akan memperburuk tren kekeringan dan/atau banjir serta dapat menyebabkan penurunan produksi pangan dan peningkatan kelaparan.

Baca Juga  Curi Tas Berisi Uang Rp 20 Juta, Pemuda Gunung Elai Diamankan Polisi

Sementara itu, akibat pemanasan global, kenaikan muka air laut di wilayah pesisir Indonesia akan meningkat dengan kecepatan 3-5 milimeter per tahun membuat semakin banyak orang yang berisiko terkena banjir dan intrusi air laut.

Keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem Indonesia yang melimpah juga terancam, 50 persen dari total keanekaragaman hayati terancam, 80 persen terumbu karangnya dalam kondisi parah karena pemanasan suhu permukaan laut, kenaikan permukaan laut, dan tekanan tambahan lainnya.

Indonesia memang mengalami peningkatan suhu rata-rata meski belum mencapai kategori heatwave seperti yang terjadi di beberapa negara Asia lainnya.

“Suhu panas di Indonesia bukan Gelombang Panas, dan suhu maksimum harian sudah mulai turun,” kata Kepala Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/4).

BMKG juga menggarisbawahi gelombang panas di negara-negara Asia Selatan, Tenggara, dan China itu turut dipengaruhi tren pemanasan global.

“Para pakar iklim menyimpulkan bahwa tren pemanasan global dan perubahan iklim yang terus terjadi hingga saat ini berkontribusi menjadikan gelombang panas semakin berpeluang terjadi lebih sering,” imbuhnya

Menurut Dwikorita, heatwave biasa terjadi di wilayah bukan khatulistiwa. Sementara, Indonesia berada di wilayah tersebut denga kondisi geografis kepulauan yang dikelilingi perairan. luas.

“Secara karakteristik fenomena, Gelombang Panas umumnya terjadi pada wilayah yang terletak pada lintang menengah hingga lintang tinggi, di belahan Bumi Bagian Utara maupun di belahan Bumi Bagian Selatan,” tuturnya.

“Pada wilayah geografis yang memiliki atau berdekatan dengan massa daratan dengan luasan yang besar, atau wilayah kontinental atau sub-kontinental,” lanjut dia.

Peneliti Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menyebut Indonesia mengalami hot spells. Yakni, kondisi suhu rata-rata berada di atas 28 derajat Celcius selama beberapa hari berturut-turut.

“Ada kecenderungan selama tujuh hari berturut-turut ini temperatur rata-rata itu di atas 28,8 derajat Celcius, di atas itu. Ini sebenarnya sudah dikategorikan hot spells,” ujar Erma dalam potongan video wawancara yang diunggahnya di Twitter.

Melansir situs resmi Badan Federal Meteorologi dan Klimatologi Swiss, hot spells adalah saat ketika temperatur tinggi bertahan selama beberapa hari dan frekuensinya akan meningkat di masa depan.

Kendati tak mengalami heatwave, bukan berarti Indonesia luput dari dampak perubahan iklim. Melansir situs Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, perubahan pola persipasi membuat iklim yang lebih basah di Sumatra dan Kalimantan, namun musim yang lebih kering di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Curah hujan yang menurun selama masa-masa kritis dalam setahun dapat meningkatkan risiko kekeringan yang tinggi, sementara curah hujan yang meningkat selama masa-masa basah dalam setahun dapat menyebabkan risiko banjir yang tinggi.

Perubahan iklim di Indonesia juga akan menghasilkan peristiwa El Niño/La Nina yang lebih kuat dan lebih sering dan akan memperburuk tren kekeringan dan/atau banjir serta dapat menyebabkan penurunan produksi pangan dan peningkatan kelaparan.

Sementara itu, akibat pemanasan global, kenaikan muka air laut di wilayah pesisir Indonesia akan meningkat dengan kecepatan 3-5 milimeter per tahun membuat semakin banyak orang yang berisiko terkena banjir dan intrusi air laut.

Keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem Indonesia yang melimpah juga terancam, 50 persen dari total keanekaragaman hayati terancam, 80 persen terumbu karangnya dalam kondisi parah karena pemanasan suhu permukaan laut, kenaikan permukaan laut, dan tekanan tambahan lainnya.

Editor : Redaksi 

Ikuti Fans Page Kami

Leave a Reply