KITAMUDAMEDIA, Bontang – Kasus pelecehan seksual yang melibatkan pimpinan sebuah pondok pesantren di Bontang mengungkapkan kurangnya pengawasan pada lembaga pendidikan agama di wilayah tersebut. Anggota Komisi I DPRD Kota Bontang, Adrof Dita, mengungkapkan keprihatinannya dan menekankan pentingnya reformasi pengawasan pesantren untuk mencegah terulangnya insiden serupa.
Menurut Dita, kasus pelecehan terhadap santriwati ini merupakan masalah serius yang menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan pesantren. “Kasus ini menunjukkan adanya celah besar dalam sistem pengawasan pesantren. Kami di Komisi I sangat prihatin dengan kejadian ini dan mendesak agar tindakan preventif segera diambil,” ujarnya pada Senin (12/8/2024).
Dalam perkembangan terbaru, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menuntut terdakwa dengan hukuman penjara selama 11 tahun setelah terbukti melakukan pelecehan terhadap santriwatinya. Dita menilai bahwa hukuman ini memang memberikan sinyal tegas, tetapi tetap menekankan perlunya pengawasan yang lebih ketat.
“Hukuman ini harus menjadi langkah awal. Yang lebih penting adalah bagaimana kita mencegah kasus serupa di masa depan,” tegasnya.
Dita juga menyebutkan bahwa kurangnya pengawasan di pesantren, terutama yang memiliki asrama putri, menjadi faktor utama terjadinya kasus tersebut. Beberapa pesantren di Bontang, menurutnya, belum sepenuhnya mematuhi standar pengelolaan yang ketat, terutama terkait keberadaan ustadz laki-laki di asrama putri.
“Kami perlu memastikan bahwa setiap pesantren memiliki sistem pengawasan yang efektif dan transparan. Masih ada masalah dengan keberadaan ustadz laki-laki di asrama putri. Ini merupakan persoalan yang perlu diselesaikan untuk melindungi santri putri dari potensi pelecehan,” jelasnya.
Untuk menanggulangi masalah ini, Komisi I DPRD Bontang telah mengusulkan pembuatan Peraturan Daerah (Perda) khusus mengenai pesantren. Perda ini diharapkan dapat memperketat regulasi pengawasan dan perlindungan santri putri.
Dita menjelaskan bahwa Perda tersebut bertujuan memperbaiki sistem pengelolaan pesantren dengan menambahkan aturan yang jelas mengenai fasilitas, pengawasan, dan perlindungan santri.
“Kami sedang menyusun Perda karena ingin memastikan bahwa pemerintah kota dapat berperan aktif dalam meningkatkan sarana dan prasarana pesantren serta menjaga keselamatan santri. Saya berharap dapat diterapkan pada tahun 2024,” tambahnya.
Dita juga berharap agar kasus pelecehan ini mendorong perubahan mendalam dalam cara pesantren dikelola dan diawasi.
“Evaluasi berkala dan pengawasan yang ketat sangat penting untuk mencegah kejadian serupa. Kami harus belajar dari kasus ini untuk membuat sistem yang lebih baik,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengawasi pengelolaan pesantren. Dita mendorong masyarakat untuk berperan aktif memastikan bahwa pesantren beroperasi sesuai dengan standar yang ditetapkan, dengan partisipasi aktif dari semua pihak yang diharapkan dapat membantu mencegah kasus-kasus kekerasan di masa depan.
Dengan adanya inisiatif pembuatan Perda dan langkah-langkah perbaikan yang direncanakan, pengelolaan pesantren di Bontang diharapkan akan mengalami perubahan signifikan.
“Kami berkomitmen untuk memastikan bahwa pesantren dapat menjadi tempat yang aman dan mendidik bagi semua santri. Ini adalah tanggung jawab kita bersama,” tutup Adrof Dita.(Adv)
Penulis: Ira
Editor : Nur Aisyah Nawir