Awesome Logo
Tersedia ruang iklan, informasi hubungi 08125593271                    Segenap Pimpinan dan Redaksi Kita Muda Media Mengucapkan Marhaban ya... Ramadhan 1442 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin                    Patuhi Protokol Kesehatan dan Jaga Imunitas                    Follow Medsos KITAMUDAMEDIA FB : kitamudamedia, Fan Page FB : kitamudamedia.redaksi, IG : kitamudamedia.redaksi, Youtube : kitamudamedia official                                   Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 1442 H                         

Gelap di Jantung Kota Industri

KITAMUDAMEDIA, Bontang – Bontang,’Kota Industri’ yang bangga sebagai pemasok gas dan pupuk ke berbagai daerah di Indonesia bahkan luar negeri, menyimpan cerita yang teramat kontras. 

Kisah itu bersemayam di Gusung, pulau kecil dan padat penduduk yang berada di pesisir utara Bontang. Gusung menjadi cermin ironi yang menyayat. Diantara deru mesin-mesin industri yang memasok energi ke seluruh negeri, warga Gusung justru berhitung dengan jam-jam gelap. Anak-anak masih harus belajar di bawah temaram. Kegelapan terasa terlalu dekat dengan sumber cahaya yang seharusnya menjadi milik mereka juga. 

Puluhan tahun pulau kecil yang berada di perairan Bontang, Kalimantan Timur (Kaltim) itu minim penerangan. Sumber listrik terbatas, perhatian pemerintah dan perusahaan-perusahaan raksasa yang ada di sekitarnya sangat kurang. Padahal jaraknya dekat dengan pusat kota, hanya sekira 30 menit dari pelabuhan Tanjung Limau atau 10 sampai 15 menit dari kawasan industri Pupuk Kaltim, bergantung kecepatan perahu ketinting yang ditumpangi. 

Meski begitu dekat, kehidupan malam hari di Gusung masih ‘gelap’. Terang yang mereka dapat di malam hari harus diupayakan sendiri. Pilihannya membeli genset, menggunakan lampu tenaga surya atau terpaksa pakai lilin dan lampu petromaks. 

Menurut Jumadi, Ketua RT 03 Gusung kondisi ini sudah dirasakan warga sejak lama. Pulau Gusung ada bersamaan dengan berdirinya pabrik Pupuk Kaltim (PKT) sekira 1977, sejak itu juga kampung ini tidak dialiri listrik.

“Sejarah munculnya pulau Gusung ini terbentuk dari tumpukan pasir sisa pengerukan laut untuk jalur kapal PKT,” jelas Jumadi.

Berulang kali permohonan warga mendapatkan listrik diabaikan pemerintah kota Bontang, hingga pada tahun 2014 mimpi panjang warga akan adanya listrik sempat terwujud. 

Kala itu, pemerintah daerah kota Bontang membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) tapi usianya tak lama, optimal digunakan hanya 4 tahun, selebihnya sering rusak. Kondisi diperparah dengan cuaca yang tak menentu, ketika hujan pembangkit listrik panel surya tidak bisa dipakai. Alhasil PLTS mati total pada tahun 2021. “Kasihan warga Gusung ini tidak ada penerangan, anak-anak mau belajar tidak ada lampu,” keluhnya, saat ditemui Selasa (30/9/2025).

PLTS yang dibangun berkapasitas 15 kilowatt peak (kWp) untuk 75 sambungan rumah, termasuk masjid, Paud, ruang pertemuan warga dan penerangan jalan. Setiap rumah diberi jatah daya 45 watt.

Awal solar cell beroperasi, warga kampung Gusung bisa menikmati listrik 24 jam. Berjalan 3 sampai 4 tahun, baterai panel surya sudah tak mampu menyimpan listrik maksimal, waktu operasionalnya menurun drastis menjadi 5 jam per hari, dari pukul 18.00 – 23.00 Wita.

“Setiap rumah kebagian listrik cuma untuk lampu sama ngecharger Hp lah, lumayan,” kata Jumadi.

Kerusakan panel surya tak mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah kota Bontang, hingga kondisi pembangkit listrik tersebut mati total tidak ada perbaikan atau penggantian unit baterai. “Sebenarnya ada petugas yang merawat, termasuk saya, cuma mau gimana kalau tidak ada perbaikan, belum lagi di sini (Gusung) sering kena petir,” jelas Jumadi, Ketua RT 03 Gusung.

Keresahan warga Gusung  semakin menjadi-jadi ketika melihat perkampungan atas air lainnya seperti Malahing, Tihi-tihi dan Selangan mendapatkan unit PLTS baru. Jumadi berharap pemerintah kota Bontang bisa lebih memperhatikan 367 jiwa yang bermukim di pulau Gusung.

“Gusung ini ketinggalan dibanding kampung pesisir lainnya, padahal penduduknya lebih padat. Tidak diperhatikan. Pemerintah kota aja bisa dihitung jari ke sini (Gusung),” sesalnya.

Kondisi panel surya yang rusak di perkampungan pulau Gusung, kelurahan Guntung, kecamatan Bontang Utara, Bontang. (Kartika Anwar)

Keluhan Jumadi bukan suara satu-dua orang. Dari rumah – rumah kayu di pulau Gusung, cerita serupa mengalir pelan. Samiati misalnya, ibu rumah tangga yang berpuluh tahun tinggal di pulau ini. Ia hanya mengandalkan lampu surya untuk menerangi rumah. Sumber cahaya tunggal di tengah gelapnya malam. Lampu kecil itu seolah menjadi saksi betapa Samiati dan keluarganya hidup di antara gelap dan terang yang tak pasti. 

Baca Juga  Proyek Infrastruktur Kukar Diharapkan Atasi Banjir dan Kemacetan di Tenggarong

Satu lampu berbentuk persegi, berukuran sekira 25×25 cm tergantung di tengah antara ruang tamu dan ruang belakang. Rumah ibu 3 anak ini memang tak besar, hanya ada dua area. “Dinyalakan lampunya mulai Magrib, jam 3 subuh sudah mati. Tapi kalau siang tidak ada mata hari ya jam 2 pun sudah mati,” tuturnya lirih, Selasa (30/9/2025).

Ia terpaksa memakai penerangan seadanya karena harga lampu surya terbilang mahal bagi keluarga nelayan seperti mereka. Belum lagi lampu itu cepat rusak. Paling lama 5 bulan, Samiati harus merogoh kocek untuk mengganti lampu baru. Alternatif lainnya, Samiati dan keluarga menggunakan aki bekas pemberian orang untuk menyalakan bola lampu. Sementara untuk mengisi daya ponsel, ia memilih menumpang  di rumah tetangga yang ada genset. 

Samiati harus memastikan baterai ponselnya terisi full, karena saat anak-anaknya belajar, mereka mengandalkan pencahayaan dari telepon genggam tersebut. “Numpang ngecharge Hp di pak RT karena ada gensetnya, tapi bawa colokan sendiri dari rumah. Kalau pas ada rezeki ya paling bantu beli bensin 1 liter, Rp 14.000,” tuturnya sambil tersenyum getir.

Kesulitan makin terasa saat pagi hari. Rutinitas menyiapkan keperluan anak – anak sebelum berangkat sekolah sering dilakukan dalam kegelapan. Samiati harus bangun lebih pagi dari jadwal anaknya berangkat ke sekolah, pukul 5 subuh. 

“Susah sekali kalau pagi-pagi, siap-siap itu masih gelap, apalagi satu anak SMP satu lagi Paud. Kakaknya itu jam 5 subuh sudah berangkat karena sekolah di darat, nyebrang lagi,” jelasnya.

Harapan bisa menikmati listrik 24 jam juga bersemayam di hati anak-anak Gusung. Husain, pelajar yang duduk di kelas dua SMP ini membayangkan alangkah nyamannya rumah dengan penerangan maksimal saat malam hari. Di rumahnya hanya ada dua lampu dari sumber listrik aki, satu dipasang di bagian depan dan satu lampu di belakang. Meski begitu, Husain tetap semangat belajar, ia sudah terbiasa dengan penerangan seadanya bahkan jika terpaksa harus gelap-gelapan. 

“Pengen ada listrik 24 jam kaya di kota, biar bisa belajar kapan saja,” ucapnya dengan polos (30/9/2025).

Bentangan kabel dan tiang-tiang lampu jalan tenaga surya di permukiman warga Gusung, Bontang yang tidak lagi berfungsi. (Kartika Anwar)

Gusung Gelap, Warga Diminta Sabar 

Lampu tak pernah benar-benar menyala di Gusung. Di saat warga bergantung pada sisa daya ponsel untuk bertahan dalam gelap, pemangku kebijakan justru menyebutnya ujian kesabaran. Tapi semangat warga Gusung tak pernah surut, mereka tak tinggal diam.

Berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkan listrik, termasuk mengajukan bantuan genset ke perusahaan, PT Pupuk Kaltim (PKT). Permintaan sebagai warga buffer zone dipenuhi, tahun 2022 warga Gusung mendapat bantuan genset berkapasitas 10.000 watt.  

Generator set (genset) itu dioperasikan dari jam 18.00 hingga 23.00 wita. Pasokan bahan bakarnya disuplai warga secara bergilir. Kebutuhannya sekira 15 liter per hari, setiap Kepala Keluarga (KK) dijatah 5 liter. Meski begitu, ternyata usia mesin penghasil listrik itu juga tak lama, setahun pemakaian, genset rusak hingga sekarang.

“Sebenarnya ada genset, cuma sudah rusak juga. Kebutuhan warga melebihi beban, jadi kadang baru dinyalakan langsung mati lagi,” ungkap Jumadi, Ketua RT 03 Gusung. 

Jumadi berharap, pemerintah maupun perusahaan yang berada di sekitar pulau Gusung dapat memberikan solusi agar warga segera mendapatkan listrik. Desas-desus bahwa pemerintah kota Bontang belum memiliki dana untuk perbaikan atau membangun PLTS baru pada tahun 2026 membuat warga gelisah. Kondisi dipersulit dengan adanya pergantian kepala daerah, artinya harapan Gusung mendapat listrik masih jauh.

“Pernah disampaikan mau dibangun PLTS tahun 2025, karena ganti pemimpin, tidak tahu lagi apa kelanjutannya, di pending kah atau seperti apa?. Gusung ini ketinggalan,” ujarnya. 

Wakil wali kota Bontang, Agus Haris meminta warga Gusung bersabar, pihaknya akan segera menganggarkan untuk kebutuhan PLTS di pulau Gusung pada tahun 2026 mendatang. “Nggak papa, mereka (warga Gusung) diuji kesabarannya, apa mau dibuat. Insyaallah tahun 2026 kami (pemkot Bontang) anggarakan,” ungkap Agus Haris (07/10/2025).

Baca Juga  Garuda Indonesia terancam ditutup: 'Langkah yang tidak dapat dicegah, kondisi keuangan berdarah-darah'

Agus menambahkan pemerintah kota Bontang akan membahas lebih lanjut, terkait kondisi PLTS, apakah memungkinkan diperbaiki atau diganti dengan unit baru. “Perkiraannya mungkin perlu sekitar anggaran Rp 1 M ya, kami bahas dulu,” tambahnya.

Sementara itu, permintaan warga ada solusi jangka pendek soal ketersedian listrik,Wakil wali kota Bontang, Agus Haris mengatakan dirinya telah berkomunikasi dengan Pupuk Kaltim (PKT), informasinya perusahaan bersedia membantu perbaikan genset dengan mengganti baru unit aki.

“Katanya PKT mau bantu ganti aki, tapi kami tunggu dulu, kalau tidak ada, akan kami (pemkot Bontang) belikan, harganya sekitar Rp 400 juta,”jelasnya.

Suasana malam di perkampungan Gusung, Bontang. (Doc. KMM)

Lumbung Energi Tapi Listrik Tak Merata

Sosiolog, Universitas Mulawarman (Unmul), Sri Murlianti menyorot tajam persoalan tersebut. Menurutnya Gusung tanpa listrik bukan sekedar persoalan teknis. Kelangkaan listrik di kota lumbung energi mencerminkan ketimpangan dan lemahnya tata kelola publik. Terlebih Bontang merupakan tiga besar kota terkaya di Indonesia yang ditopang sektor industri. Seharusnya pemerintah daerah mampu mengalokasikan anggaran tanpa hambatan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga, seperti listrik mestinya menjadi prioritas bukan bergantung pada bantuan atau solusi darurat.

“Warga Gusung ber KTP Bontang kan, ini (listrik) bukan persoalan proyek tapi keadilan sosial, keadilan energi,” tegas Sri Murlianti, Senin (20/10/2025).

Sri Murlianti menilai pembangunan Pemangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Gusung yang pernah dilakukan hanya sebatas proyek insidental. Tanpa memikirkan keberlanjutan, padahal listrik adalah kebutuhan seumur hidup hingga lintas generasi. Seharusnya masyarakat bisa menikmati sepanjang masa.

“Tidak cukup kasih listrik, instalasi, desa nyala, tinggal. PLTS kuat berapa tahun ya sudah,” katanya.

Pemerintah daerah perlu mematangkan perencanaan secara komprehensif. Mulai dari awal pembangunan, perawatan, evaluasi, termasuk membekali pengetahuan pada warga sehingga bisa ikut merawat dan menjaga agar PLTS sustainable dan stabil.

“Bukan warga harus sabar, tapi ketidakpedulian, tidak ada political will yang serius, karena sebenarnya harus cepat ditangani, listrik kebutuhan dasar,” ungkapnya.Di sisi lain, perusahaan juga seharusnya tidak berhenti pada pemberian bantuan sesaat seperti genset. Melalui program CSR, keterlibatan yang lebih mendalam sangat diperlukan untuk mendorong transformasi energi yang adil dan berkelanjutan. “Gusung, buffer zone betul, depan mata, jarak ndak jauh gitu kemudian depan mereka (warga Gusung) PKT yang lampunya menyala 24 jam, terang benderang,” sesal Sri.

Di akhir, Sri berharap Bontang mampu menjadi pilot project atau laboratorium praktik keadilan energi yang seharusnya bisa dicontoh kota-kota lain, karena sebagai kota kaya seharusnya tidak ada ada lagi perkampungan tanpa listrik.

Rp 6,7 M untuk Terangi Malahing

Malahing, perkampungan atas air yang berada di Kelurahan Tanjung Laut Indah, Kecamatan Bontang Selatan pernah senasib dengan pulau Gusung. Di lokasi itu PLTS komunal mulai beroperasi sejak tahun 2013 namun kerusakan terjadi pada 2017, alhasil warga terpaksa kembali bersahabat dengan gelap seperti tahun-tahun sebelumnya. Perbaikan pernah dilakukan pada awal tahun 2023 namun tak berumur panjang, hanya sekira 6 bulan hingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya berkapasitas 15 kilowatt peak (kWp) mati total.

Pada akhir tahun 2023 pemerintah kota Bontang menggelontorkan anggaran sebesar Rp 6,7 miliar untuk pembangunan unit baru PLTS di Malahing. Kapasitas panel surya yang baru dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya dengan jam operasional 24 jam.

“Solar cell yang baru ini kapasitasnya lebih besar 30 kWp untuk 55 sambungan, jadi bisa 24 jam disalurkan listriknya ke rumah warga, daya 900 watt per rumah,” jelas Jumadi, operator PLTS Malahing, Minggu (12/10/2025).

Selain daya besar, unit PLTS yang baru menggunakan sistem dan baterai yang lebih canggih. Baterai yang digunakan jenis litium dengan efisiensi tinggi, umur pakai panjang dan bobot ringan. 

“Sistem yang baru ini lebih aman, ada pembatasnya bisa kontrol misal baterai full maka ngecut sendiri, perawatan juga lebih mudah. Baterai dulu semacam aki kering sekarang litium,” paparnya.

Baca Juga  Tambahan Kasus 13 Positif Covid-19, 5 Orang Diantaranya dari Klaster Baru HOP

Serangan petir yang menjadi ancaman di wilayah pesisir pun mampu diantisipasi dengan adanya proteksi petir yang dapat terbaca secara sistem dari ruang kontrol. 

“Ada garansi 5 tahun juga dari perusahaan penyedianya ini, jadi kita laporkan terus kerjanya PLTS,” tambah Jumadi.

Haodah, ibu rumah yang menjadi saksi hidup gelap terang di  pulau Malahing merasa bersyukur, kampung yang dihuni 227 jiwa tersebut akhirnya bisa mendapatkan sambungan listrik tanpa batas waktu. Meski begitu, dirinya harus pandai mengatur kebutuhan listrik agar daya 900 watt bisa digunakan sepanjang hari. “Bersyukur sudah ada lampu, tinggal diatur balon (lampu), kalau malam biasa ku pakai 3 balon saja, kalau nyala semua biasa sampai jam 4 atau jam 5 subuh sudah habis setrum,” katanya (12/10/2025).

Kedepan, ia berharap pemerintah kota Bontang bisa mengupayakan sambungan listrik PLN agar kebutuhan listrik warga dapat maksimal terpenuhi.

“Maunya nanti ada PLN masuk jadi bisa pakai kulkas, karena kasihan ikan hasil tangkapan itu kalau pas tidak ada es batu yang bisa dibeli dari darat, busuk semua ikan,” harap Haodah.

PLTS di perkampungan atas air Malahing, Bontang. (Kartika Anwar)

Lalai Merawat, PLTS Tamat

Masalah di Gusung bukan kasus tunggal. Banyak PLTS pesisir menghadapi persoalan serupa, seperti dijelaskan Rizky Ahmad Fauzi, renewable energy technician Enter Nusantara.

Rizky memaparkan, keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di kawasan pesisir memiliki tantangan tersendiri. Kondisi cuaca yang tak menentu dan udara laut rentan menguji ketahanan panel surya dari korosi, sehingga  diperlukan perhatian khusus agar tidak cepat rusak  dan dapat berfungsi dengan baik dalam jangka waktu panjang.

Pada kondisi unit baru dan prima, idealnya panel surya dapat digunakan 15 hingga 30 tahun, sementara ketahanan baterai bisa mencapai usia 10 tahun. 

“Semakin jelek kondisi baterai, umur PLTSnya semakin sebentar, apalagi yang terjadi di Indonesia banyak dijual baterai bekas penguat sinyal, jadi kalau pengadaannya proyek pemerintah,vendornya harus cek benar-benar,” jelasnya (06/09/2025).

Melihat kondisi PLTS di pulau Gusung yang hanya optimal digunakan selama 4 tahun hingga mati total di tahun ke 7 menurut Rizky ada beberapa faktor yang kemungkinan menjadi penyebab utama. Diantaranya, kondisi lingkungan membuat komponen PLTS rawan korosi, tersambar petir serta sistem pemeliharaan yang kurang tepat.

“Biasanya kalau PLTS mati total, selain baterai, berarti inverternya juga rusak, bisa karena korosi, di pesisirkan kadar garamnya tinggi,” ungkapnya.

Kondisi control room PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) harus diatur secara khusus untuk menjaga keawetan dan keandalan komponen elektronik yang sensitif. Komponen seperti inverter,charge controller,perangkat monitoring, termasuk baterai, membutuhkan lingkungan yang stabil. 

Suhu ruangan perlu dijaga antara 20°C hingga 25°C (terutama untuk ruangan yang menyimpan baterai). Memiliki ventilasi yang baik untuk menghindari penumpukan panas,  kontrol kelembaban udara agar tetap pada batas yang direkomendasikan untuk peralatan elektronik, termasuk menjaga kebersihan ruangan dan meminimalisir masuknya debu.

Perhatikan juga pemasangan grounding untuk menghindari petir, sebaiknya sistem pentanahan itu dipasang sedalam 10-20 meter, jadi ketika ada petir dan nyamber tidak langsung merusak control room,” ungkap teknisi energi terbarukan tersebut. 

Tak kalah penting, lakukan pemantauan dan tindakan korektif yang cepat. Inspeksi secara berkala koneksi kabel, kondisi baterai dan tegangan secara real time. “Cek tegangan baterai, apakah setiap baterai tegangannya sama, kalau satu cell baterai mati, voltase bisa turun, jadi tidak balance, bisa rusak,” tambah Rizky Ahmad Fauzi, Renewable Energy Technician Enter Nusantara.

Fakta ini menunjukan bahwa persoalan teknis hanya satu sisi dari masalah yang lebih besar. Gusung adalah cermin bahwa tanpa pemerataan, transisi energi justru menciptakan koloni-koloni gelap baru di tengah cahaya industri,  Bangkai-bangkai kabel dan meteran listrik, bukti fisik rapuhnya komitmen energi berkeadilan di tengah wacana besar transisi nasional dengan agenda ambisius menuju Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.

“Terang yang tertunda” seharusnya tidak sekadar harapan, tetapi gugatan terhadap sistem pembangunan yang membiarkan sebagian warga hidup dalam bayang-bayang pabrik yang menyala 24 jam. 

Reporter : Kartika Anwar

Editor : Redaksi

Ikuti Fans Page Kami

Leave a Reply