KITAMUDAMEDIA, Samarinda – DPRD Samarinda melakukan revisi dan beberapa perubahan pasal dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2013, tentang Larangan, Penertiban dan Penjualan Minuman Beralkohol dalam Wilayah Kota Samarinda.
Perubahan ini kata Anggota Komisi I DPRD Kota Samarinda Nursobah, sebagai langkah atau tindaklanjut terhadap Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI. Selain itu, revisi dilakukan berdasarkan design besar daripada aturan diatasnya.
“Revisi ini wajar saja dilakukan karena sudah 10 tahun, terakhir 2013. Waktu itu saya adalah ketua pansus yang melahirkan Perda Nomor 6 Tahun 2013 itu,” kata Nursobah pada Selasa (28/3/2023) di Kantor DPRD Kota Samarinda, jalan Basuki Rahmat, Kota Samarinda.
Menurutnya, tidak boleh ada pelarangan yang sifatnya membatasi hak-hak masyarakat dan produsen. Mengingat, di Indonesia ini ada minuman beralkohol yang bersifat tradisional dan masuk kedalam kategori budaya.
“Nafasnya memang pelarangan, tapi ada dua perspektif. Kita mau melarang murni dalam rangka mencegah masyarakat mengonsumsi minuman beralkohol ini, atau justru kita mau mendapatkan pendapatannya. Kan, ada dua perspektif,” jelasnya.
Sebenarnya beber pria kelahiran 1972 itu, Wali Kota Andi Harun menginginkan adanya pelarangan terhadap minuman beralkohol di Wilayah Kota Samarinda. Salah satu caranya dengan menaikkan retribusi sebesar 40-60 persen.
“Kalau begitu, berarti berbentuk pelarangan dan tidak ada peredaran. Tapi kan nggak boleh begitu, harus diakomodir lagi. Misalnya, dikegiatan budaya tertentu, tuak itu minuman yang sudah jadi budaya. Saya sampaikan dalam perspektif budaya, nggak boleh begitu. Ini hak yang punya budaya, kan kita ini NKRI,” terangnya.
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa dari perspektif peredaran, penyaluran, menjual dan memasukkan minuman alkohol di Kota Samarinda itu memang harus diatur. Hanya saja, membuat sebuah aturan untuk orang banyak itu harus benar-benar dicermati dengan seksama.
“Jadi ada dua perspektif. Namun keinginan pak wali kota soal pelarangan itu juga harus dicermati karena sebuah keinginan bagus. Tapi masalahnya, Samarinda ini kedepan menjadi penyanggah Ibu Kota Negara (IKN),” tegasnya.
Ketika Samarinda menjadi penyanggah IKN, maka tak menutup kemungkinan akan banyak orang yang berbondong-bondong datang ke Kota Tepian. Mereka semua berasal dari suku budaya yang berbeda-beda.
“Sama seperti Ibu Kota Jakarta. Disana ada Depok, ada Bogor, ada Tanggerang Selatan, ada Bekasi. Itukan satelit semuanya. Nah kita ingin mengambil peluang sebagai penyanggah IKN melalui Perda ini. Itu artinya, Samarinda harus menjadi kota termuka,” paparnya.
Disinggung apakah nantinya pengusaha tuak akan dikenakan pajak, Nursobah mengatakan bahwa jika ingin menjadi daerah terbuka maka aturannya juga harus dibuka. Meskipun Samarinda bukan daerah produsen.
“Kalau perspektif teman-teman, karena kita mau menjadi daerah terbuka, itu dibuka saja. Tadi mau dibandingkan sama Jakarta. Saya bilang jika mau membandingkan dengan Jakarta itu berbeda, kalau Jakarta sudah menjadi daerah produsen. Sementara Kota Samarinda bukan daerah produsen. Tapi untuk kedepannya jika ingin jadi penyanggah IKN, ya harus dibuka,” urainya.
Editor : Kartika Anwar