Oleh: Adiah Murwidiaswati S.Si (Aktivis Dakwah)
Kasus korupsi di Indonesia semakin meningkat, baik dari sisi jumlah kasus, tersangka, maupun potensi kerugian negara. Di Kaltim sendiri ketua KPK Setyo Budiyanto menyampaikan, sepanjang 2023–2025, ada 80 pengaduan dari masyarakat terkait dugaan korupsi. Bontang, dengan julukan kota Taman (Tertib, Agamis, Mandiri, Aman dan Nyaman) juga tak luput dari jerat korupsi. Yang lebih miris saat ini, dana yang dikorupsi bukan hanya bernilai puluhan atau ratusan juta rupiah tidak lagi miliaran atau ratusan miliar rupiah tetapi sudah di angka triliunan bahkan puluhan dan ratusan triliun.
Gara-gara korupsi hidup rakyat makin sengsara dan penuh derita. Kebutuhan hidup rakyat yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah, malah di jadikan lahan basah oleh para koruptor. Lain sisi subsidi dibatasi dan dikurangi, pemerintahpun terus menambah pajak. Pajak sembako, pajak tanah dan bangunan, bahkan pajak nasi bungkus, pajak pulsa diberlakukan di tengah gaya mewah para pejabat yang makin mengiris rasa keadilan rakyat.
Korupsi di Negeri Demokrasi
Jamak diketahui politik demokrasi berasaskan sekulerisme, yaitu memisahkan agama dari negara. Agama bukan menjadi pedoman dalam berpolitik, tetapi hanya dianggap pelengkap dan digunakan sesuai kepentingan. Bahkan sering kali agama hanya dijadikan politik identitas untuk mendulang suara. Para kontestan politik pada saat sudah sampai di tampuk jabatan tujuan utamanya bukan untuk melaksanakan amanah yang akan mengantarkan pemegangnya pada pahala tetapi untuk memperoleh harta dan kuasa.
Konstestasi Demokrasi yang mahal menjadikan demokrasi bersifat transaksional. Bukan rumor, untuk menjadi walikota saja harus ada uang miliaran bahkan puluhan miliar, apalagi untuk menjadi anggota dewan dan presiden. Oleh karena itu para kandidat harus mengumpulkan dana dengan cara menggandeng pengusaha. Inilah yang nantinya akan melahirkan politik transaksional. Pada saat menjabat, ia akan disibukkan untuk mengembalikan modal dan mengabdi kepada para sponsornya. Hal inilah yang menyebabkan semakin marak korupsi.
Tidak ada sanksi yang benar-benar memberi efek jera dalam sistem demokrasi. Aturan dan hukum yang longgar serta undang-undang yang bisa di rekayasa dalam sistem demokrasi menyebkan demokrasi “ramah” dengan para koruptor. Setiap pasal bisa diatur dan dinegosiasikan demi manfaat dan keuntungan pihak atau kelompok tertentu. Wajar, bahkan tidak jarang korupsi dilakukan oleh pejabat negara bahkan secara berkelompok. Para koruptor juga masih bisa menghirup udara bebas meski sudah dijatuhkan putusan pengadilan sebagai terpidana. Sebagai contoh TT salah satu terpidana kasus korupsi timah 300 trilyun di kawasan IUP PT. Timah TbkT divonis 3 tahun penjara dan biaya perkara Rp 5 ribu. Alasan vonis ringan karena hakim menyebut dia sopan selama persidangan.
Ini artinya, Demokrasi yang lahir dari sekularisme adalah akar segala persoalan yang ada, termasuk korupsi. Selama demokrasi diemban di negeri ini, korupsi tidak akan pernah berhenti, bahkan makin liar dan tidak terkendali, sebagaimana saat ini.
Teladan Rosulullah Saw. dan Para Khalifah
Dalam Islam, keimanan dan ketakwaan penguasa dan para pejabat tentu penting. Namun, sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng itu jauh lebih penting. Islam memiliki sejumlah aturan yang telah terbukti mampu menyelesaikan persoalan korupsi di tubuh pejabat.
Pertama, sistem kehidupan, politik dan pemerintahan Islam berlandaskan akidah Islam. Para politisi menginginkan jabatan bukan untuk kepentingan dunia, tetapi kepentingan akhirat. Dalam Islam kepemimpinan bukan sekadar sebuah jabatan. Di dalamnya melekat kewenangan. Makin tinggi level kepemimpinan, makin besar kewenangan yang dimiliki. Jika kepemimpinan itu dijalankan dengan baik, kebaikan juga akan dirasakan oleh lebih banyak orang. Allah SWT berjanji menghadiahkan surga bagi para pemimpin yang amanah dalam mengurusi umat, dan jika sebaliknya yaitu para pemimpin yang khianat akan diganjar neraka.
Keteladanan Rasulullah saw., walaupun memegang banyak harta negara, hidup sederhana. Beliau, misalnya, biasa tidur di atas selembar tikar yang kasar yang meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Ketika Ibnu Mas’ud ra. menawarkan untuk membuatkan kasur yang empuk, beliau berkata,
“Tidak ada urusan kecintaanku dengan dunia, Aku di dunia ini tidak lain hanyalah seperti seorang pengendara yang bernaung di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)
Kedua, dalam menegakkan aturan islam mempunyai tiga pilar, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan penerapan aturan yang tegas dan adil dalam negara. Ketakwaan individu menjadikan para pejabat mempunyai kontrol internal sehingga takut berbuat korup. Selanjutnya, kontrol masyarakat, rakyat akan melakukan control dan kritik membangun (muhasabah lil hukam) agar para pejabat tidak lalai pada amanahnya dan terjerumus dosa korupsi. Penerapan aturan yang sesuai syariat dan pemberian sanksi yang tegas agar tidak menimbulkan celah untuk korupsi. Hukuman bagi para koruptor adalah takzir, yaitu bentuk dan kadar hukuman ditentukan oleh Khalifah. Bagi para koruptor bisa dujatuhkan hukuman penjara hingga hukuman mati jika terbukti, hal ini tergantung seberapa banyak kerusakan yang ditimbulkan.
Ketiga, pembuktian terbalik juga sejak lama telah dipraktikkan oleh para Khalifah. Khalifah Umar bin al-Khaththab misalnya, telah melakukan penghitungan kekayaan seseorang pada awal jabatannya sebagai pejabat negara, kemudian menghitung ulang di akhir jabatan. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, Umar memerintahkan agar menyerahkan kelebihan itu kepada Baitul Mal. Atau membagi dua kekayaan itu, separuh untuk negara dan sisanya untuk yang bersangkutan.
Sejatinya persoalan korupsi negeri ini tidak akan bisa dituntaskan karena pangkal korupsi adalah penerapan sistem demokrasi yang berasaskan sekuler. Walhasil, untuk menyelesaikannya, harus menggantinya dengan sistem politik yang berlandaskan akidah Islam agar negeri tanpa korupsi akan benar-benar terwujud. Wallohu’alam



