KITAMUDAMEDIA, Bontang – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang ditandatangani pada 26 Juli lalu telah menuai kontroversi, terutama pada poin (e) yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi untuk anak usia sekolah dan remaja.
PP ini mengatur tentang layanan kesehatan reproduksi yang tercantum dalam Pasal 103 ayat (4) yang berbunyi, “Pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining; b. pengobatan; c. rehabilitasi; d. konseling; dan e. penyediaan alat kontrasepsi.”
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bontang, Tri Ismawati, memberikan tanggapannya mengenai kebijakan ini. Ia menyatakan, meskipun PP Nomor 28 Tahun 2024 bertujuan untuk meningkatkan kesehatan reproduksi remaja dan anak usia sekolah, penyediaan alat kontrasepsi kepada mereka menimbulkan beberapa pertanyaan dan kekhawatiran.
“Mungkin pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan ini untuk meningkatkan layanan kesehatan reproduksi bagi anak usia sekolah dan remaja. Namun, penyediaan alat kontrasepsi untuk kelompok usia ini perlu ditimbang dengan cermat,” ujarnya saat dikonfirmasi, Senin (12/8/2024).
Tri Ismawati menyoroti bahwa sebelumnya pembelian alat kontrasepsi memerlukan bukti usia melalui KTP. Dengan kebijakan baru ini, anak-anak dan remaja kini memiliki akses yang lebih mudah, dan hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap perilaku mereka.
Ia mengungkapkan bahwa meskipun tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengendalikan angka kehamilan dan meminimalisir penularan penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS, yang semakin meningkat di kalangan remaja, pendekatan yang lebih holistik diperlukan.
“Meski tujuan utama dari kebijakan ini adalah mengurangi angka kehamilan dan penyebaran penyakit menular seksual, harus diakui bahwa akses yang lebih mudah terhadap alat kontrasepsi bisa dianggap mendorong seks bebas di kalangan remaja,” tambahnya.
Tri menekankan pentingnya pendidikan seks yang komprehensif sebagai pendamping kebijakan ini. Selain itu, peran orang tua dalam memantau dan membimbing anak-anak mereka juga sangat krusial. Kebijakan ini harus diimbangi dengan pembinaan yang tepat agar tidak mengakibatkan dampak negatif yang tidak diinginkan.
Menurutnya, penting bagi pemerintah untuk memastikan kebijakan ini tidak hanya berfokus pada penyediaan alat kontrasepsi tetapi juga pada peningkatan pendidikan dan dukungan sosial, sehingga seks bebas di kalangan usia sekolah dan remaja tidak dinormalisasikan.
“Jika kebijakan ini hanya diterapkan tanpa dukungan yang memadai dari pendidikan dan pengawasan, bisa jadi akan menimbulkan dampak sosial yang negatif, termasuk normalisasi perilaku seks bebas,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa kebijakan ini harus diperhatikan secara cermat agar tidak menyebabkan dampak negatif yang lebih luas. Seks bebas atau seks di luar pernikahan merupakan perbuatan yang dilarang agama dan melanggar norma sosial.
“Kita harus melihat bagaimana kebijakan ini diterapkan di lapangan dan mengidentifikasi potensi masalah yang mungkin timbul. Peran serta masyarakat, keluarga, dan sistem pendidikan sangat penting,” ucapnya.
Tri Ismawati berharap ada pendekatan yang lebih menyeluruh dalam menangani isu kesehatan reproduksi remaja, sehingga dapat meminimalkan risiko dan dampak negatif, serta mendukung pengembangan kesehatan reproduksi yang sehat di kalangan anak usia sekolah dan remaja.
“Pendidikan seks sangat penting di usia anak sekolah dan remaja, tetapi tidak cukup hanya dengan penyediaan alat kontrasepsi. Penting untuk mengedukasi anak sejak dini tentang ancaman seks bebas dan dampaknya terhadap kehidupan sosial,” tuturnya.
Lebih jauh, ia berharap Pemerintah Pusat melakukan kajian ulang terhadap PP tersebut, karena kebijakan ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman dan tafsir berkonotasi negatif di kalangan masyarakat.(Adv)
Penulis: Ira
Editor : Nur Aisyah Nawir